Diberdayakan oleh Blogger.

RUKUN LAA ILAAH ILLALLAH bag 1

Selasa, 07 Mei 2013

Kalimat Tauhid "Laa ilaa illallah" terdiri dari dua rukun, yaitu : Nafi' dan Itsbat. Nafi disebutkan dalam kalimat "Laa Ilaaha" dan itsbat disebutkan dalam kalimat "Illallah".

Maka "Laa Ilaaha adalah meniadakan seluruh apapun yang disembah selai Allah. Sedangkan "Illallah" adalah meneguhkan bahwa seluruh ibadah hanya untuk Allah Rabbul 'alamiin satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam beribadah kepada-Nya, sebagaimana tidak ada sekutu dalam kekuasaan-Nya (Mulkihi) dan Rububiyan-Nya. Kemudian diwujudkan dengan bara'ah (putus hubungan) dari segala yang disembah selain Allah. Inilah hakikat pengabdian hanya teruntuk Allah satu-satunya.

Sesunggunya, tidak akan dapat mentauhidkan Allah dengan semurni-murninya kecuali kita mengenal musuh atau kebalikan Allah. Didalam Al-Qur'an, musuh atau kebalikan Allah adalah "Thaghut". Al-Qur'an menyebutkan thaghut sebagai kebalikan-Nya itu dalam lima bidang, yaitu :

1. Bidang keimanan/Aqidah. sebagaimana ayat :

 Artinya : "Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesunggunya ia telah berpagang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus". (Qs. Al-Baqoroh : 256)



2. Bidang ibadah, sebagaimana diterangkan dalam ayat :

Artinya : "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu. Maka dianta umat itu ada orang-orang yang diberikan petunjuk oleh Allah dan ada pula diantaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan atasya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)". (Qs. An-Nahl : 36)

3. Bidang kewalian, sebagaimana diterangkan dalam ayat :

Artinya : "Allah Pelindung orangl-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (Iman). dan orang-orang kafir; pelindungnya ialah syaitan". (Qs. Al-BBaqoroh : 257)

4. Bidang hukum dan perundang-undangan, sebagaimana diterangkan dalam ayat :
Artinya : "Mereka hendak berhakim kepada Thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu".

yang dipertegas dalam ayat lain :
Artinya : "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin". (Qs. Al-Maidah : 50)

5. Dalam bidang sabil (Jalan hidup), sebagaimana diterangkan dalam ayat :

Artinya : "Orang-orang yang beriman berperang dijalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang dijalan Thoghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu". (Qs. An-Nisa : 76)



Yang dipertegas dalam ayat lain :

Artinya : "Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari janan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa". (Qs. Al-An'am : 153)

Dengan memperhatikan ayat-ayat diatas, kita dapakan kejelasan makna kalimat tauhid "Laa ilaha illallah" dalam konteks nafi dan itsbat, yaitu :
  1. Pada bidang pertama, kalimat sejajar dengan kalimat nafi "laa ilaha" adalah "yakfur bit-thaghut", sedangkan yang sejajar dengan kalimat itsbat "illallah" adalah "yu'min billah".
  2. Pada bidang kedua, kalimat yang sejajar dengan kalimat nafi "laa ilaaha" adalah "ijtinabut-thaghut", sedangkan yang  sejajar dengan kalimat itsbat "illallah" adalah "u'budullah".
  3. Pada bidang ketiga, kalimat yang sejajar dengan kalimaat nafi "laa ilaaha" adalah "walladzina kafaru auliyauhumut-thaghut", sedangkan yang sejajar dengan kalimat itsbat "ilallah" adalah "Allahu waliyulladzina amanu".
  4. Pada bidang keempat, kalimat yang sejajar dengan kalimat nafi "Laa ilaaha" adalah "ay-yatahakamu ilat-thaghut atau afahukmul jahiliyah yabghun", sedangkan yang sejajar dengan kalimat itsbat "ilallah" adalah "waqod umiru an yakfuru bihi atau waman ahsana minallah hukman".
  5. Pada bidang kelima, kalimat yang sejajar dengan kalimat nafi "laa ilaaha" adalah "Walladzina kafaru yuqothiluna fisabilit-thaghut atau wala tattabi'us subula fatafarraqa bikum 'an sabilih", sedangkan yang sejajar dengan kalimat itsbat "illallah" adalah "Alladziina amanu yuqothiluuna fi sabilillah atau wa anna haadza shiroti mustaqiman fattabi'uhu".
Seluruh apa yang sejajar dengan Allah, yang mesti diteguhkan sebagai aplikasi kalimat itsbat "illallah" itulah "Al-Haq". Sedangkan sebaliknya, seluruh apa yang sejajar dengan thaghut, yang mesti ditiadakan sebagai aplikasi kalimat nafi "Laa ilaaha" adalah "Al-Bathil" Atau "Dhalal"

AL FURQON

Senin, 06 Mei 2013

PENGERTIA AL FURQON

  1. Secara bahasa artinya : menceraikan, memecah membagi, membelah dan memisahkan (Qs. 77:4)Memecah belah, Mencerai beraikan 
  2. Istilah dalam Al-Qur'an : Qs. 25:1, 2:53, 3:4, 2:185
 Pembeda, pemisah antara yang haq dan yang bathil. Pembeda dapat diartikan sebagai sebuah sikap yang dapat membedakan atara yang haq dan yang bathil (Qs. 86:13)

Pengertian Furqon yang lain
  • Qs. 8:41 : Hari bertemunya dua pasukan (yang haq dan yang bathil)
  • Qs. 25:2 : Kerajaan, Kekuasaan, Pemerintahan

AKTUALISASI FURQON
Ketakwaan dan Keimanan seseorang niscaya akan melahirkan suatu polah atau sikap perbedaan antara kebenaran dan kebathilan (Qs. :29) hal ini dapat direfleksikan pada skema berikut ini :

  • Qs. 2:159 : belanjakanlah hartamu di jalan Allah
  • Qs. 2:190 : berperanglah dijalan Allah tapi jangan melampoi batas
  • Qs. 6:153 : orang yang beriman berperang dijalan Allah dan orang yang kafir berperang di jalan thogut.

PERBEDAAN SABILILLAH DAN SABILIT THOGHUT


KESIMPULAN
  1. Sikap Furqon adalah aplikasi dan refleksi dari keimanan dan ketakwaan seseorang (Qs. 8:29)
  2. Furqon akan menentukan sikap " WALA' DAN BARO' " seseorang (Qs. 2:257)

Wallohu A'lam Bishshowab

Edisi Khusus Hari Kemerdekaan : Imam Pemberontak Dari Malangbong

Sabtu, 09 Februari 2013

Majalah Tempo Terbitan Edisi 16 Agustus 2010 menyajikan edisi khusus hari kemerdekaan yang menyajikan kisah seputar Negara Islam Indonesia. Dalam Laporan utamanya menyajikan beberapa tulisan diantaranya berjudul : Imam Pemberontak Dari Malangbong. Berikut tulisannya :
Berasal dari keluarga abangan, sekarmadji maridjan Kartosoewirjo menjadi pemimpin pemberontakan darul islam. hampir lima puluh tahun setelah kematiannya, pemikiran dan cita-cita mendirikan negara islam masih bergelora di kalangan sebagian umat islam negeri ini.
DI Teluk Jakarta, sang “Imam” mengembuskan napas terakhir setelah tubuhnya diterjang peluru regu tembak. Toh, hampir lima puluh tahun setelah kematiannya, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo masih terus mengilhami berbagai kelompok di negeri ini yang ingin menegakkan sebuah “Negara Islam”-baik dengan jalan damai maupun kekerasan.

Kendati dikenal sebagai pemimpin Islam, pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1907, itu sesungguhnya sosok yang tak terlalu “islami”. Ayahnya, Kartosoewirjo, adalah seorang mantri candu-pangkat yang cukup tinggi untuk seorang “inlander” di masa kolonial. Candu dan Islam jelas bukan pasangan yang padan.

Keluarga Kartosoewirjo memang tergolong priayi feodal, dan bukan pemeluk Islam yang taat. “Keluarga kami cenderung abangan,” kata salah seorang anggota keluarga di Cepu. Masa kecil Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pun tak karib dengan pendidikan agama. Dia terus-menerus menempuh pendidikan di sekolah Belanda.

Setelah menamatkan Inlandsche School der Tweede Klasse, yang dikenal sebagai “Sekolah Ongko Loro”, Karto kecil melanjutkan sekolah ke Hollands Inlandsche School di Rembang, Jawa Tengah. Setelah itu, dia meneruskan pendidikan ke Europeesche Lagere School, sekolah elite khusus untuk anak Belanda, di Bojonegoro, Jawa Timur.

Hanya anak pribumi cerdas dan berasal dari keluarga amtenar yang boleh masuk sekolah itu. Kemudian dia melanjutkan lagi pendidikan ke Nederlandsch Indische Artsen School-biasa disebut Sekolah Dokter Jawa-di Surabaya.

Di masa remaja, Kartosoewirjo yang mulai tertarik pada dunia pergerakan justru akrab dengan pemikiran kebangsaan-bahkan “kiri”. Dia diketahui banyak membaca buku sosialisme yang diperoleh dari pamannya, Mas Marco Kartodikromo.

Marco dikenal sebagai wartawan dan aktivis Sarekat Islam beraliran merah. Terpengaruh bacaan itu, Kartosoewirjo terjun ke politik dengan bergabung di Jong Java dan kemudian Jong Islamieten Bond.
Pengetahuan agama Islam praktis digalinya secara otodidak, lewat literatur berbahasa Belanda dan persentuhan dengan sejumlah kiai. Guru mengajinya yang pertama adalah Notodihardjo, aktivis Partai Sarekat Islam Indonesia sekaligus Muhammadiyah di Bojonegoro. Penampilan Notodihardjo tipikal Islam-Jawa: tutur katanya halus dan dia selalu mengenakan blangkon, beskap, dan selop.

Adapun gurunya di dunia pergerakan, sekaligus guru agamanya terbesar, tak pelak lagi adalah Haji Oemar Said Tjokroaminoto-tokoh yang disebut Belanda “Raja Jawa tanpa Mahkota”. Terpesona oleh pidato “singa podium” itu, Karto melamar menjadi murid dan mulai mondok di rumah Ketua Sarekat Islam itu di Surabaya.

Untuk membayar uang pondokan, Karto bekerja di surat kabar Fadjar Asia milik Tjokroaminoto. Ketekunan dan kecerdasan membawa Kartosoewirjo menjadi sekretaris pribadi mertua pertama Soekarno itu.

Patut dicatat, Tjokroaminoto juga dikenal sebagai guru bagi Semaoen yang beraliran komunis dan Soekarno yang beraliran nasionalis. Kesamaan tujuan untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan Belanda membuat mereka bersatu dan mengesampingkan perbedaan.

l l l
KETIKA tinggal di Malangbong, Garut, Kartosoewirjo kembali mempelajari Islam dari sejumlah ajengan, alias kiai lokal, seperti Ardiwisastra dari Malangbong, Kiai Mustafa Kamil dari Tasikmalaya, dan Kiai Yusuf Tauziri dari Wanareja. Ardiwisastra belakangan menjadi mertua dan sekutu dekatnya dalam perjuangan menegakkan Negara Islam.

Sebaliknya, Yusuf Tauziri menjadi lawan tangguh dalam arti sesungguhnya bagi Kartosoewirjo. Beberapa kali anak buah Yusuf yang menolak proklamasi Darul Islam terlibat baku tembak dengan pasukan Kartosoewirjo di medan tempur.

Dengan latar belakang Islam-Jawa seperti itu, bukan hal ajaib jika muncul cerita Kartosoewirjo pernah melakukan tapa geni tidak makan dan tidak minum selama 40 hari di Gua Walet, Gunung Kidul, Yogyakarta. Dia meyakinkan pengikutnya bahwa bertapa juga dilakukan Rasulullah ketika memperoleh wahyu pertama di Gua Hira.

Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga, Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan Heru Tjokro, dan Satrija Sakti. Julukan itu sesuai dengan ramalan Joyoboyo, raja sekaligus pujangga Jawa yang menubuatkan akan munculnya seorang pemimpin umat manusia.

Konon ada pula kepercayaan mistis di kalangan masyarakat Jawa Barat bahwa Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil dan selalu menang perang jika bisa menyatukan dua senjata pusaka: keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang. Kedua pusaka itu memang selalu dibawanya ketika bergerilya di hutan.

Menyimak profil Kartosoewirjo itu, tak aneh bila ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, menilai dia sesungguhnya tak memiliki landasan ideologi yang kuat untuk mendirikan Negara Islam. Bahtiar-dan beberapa ahli politik Islam lain-lebih merujuk pada kekecewaan Kartosoewirjo terhadap Perjanjian Renville, yang dianggapnya merugikan kepentingan umat Islam, untuk memberontak dari “pemerintahan kafir” Soekarno.

Toh, pemberontakan Kartosoewirjo di Jawa Barat bersama Daud Beureueh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan telah ikut mewarnai sejarah pembentukan Republik yang masih berusia muda. Puluhan tahun setelah ketiga tokoh itu wafat, semangat mendirikan Negara Islam terbukti tak kunjung padam di kalangan sebagian umat Islam. Kaderisasi di antara mereka pun sepertinya tak pernah terputus.

Pengusung cita-cita Negara Islam itu boleh saja terpecah-belah karena alasan ideologi atau kepentingan pribadi pemimpinnya. Ada yang memilih mengembangkan pendidikan, berjuang dengan program advokasi, ada pula yang tetap menghalalkan jalan kekerasan. Kelompok lain diyakini menjadi cikal bakal Jamaah Islamiah. Namun semuanya tetap mengaku penerus cita-cita Kartosoewirjo.
l l l
UNTUK mengumpulkan bahan penulisan edisi khusus Kartosoewirjo ini, kami mengundang beberapa ilmuwan, peneliti, dan saksi sejarah dalam beberapa sesi diskusi di kantor redaksi Tempo. Ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, dan Solahudin, seorang peneliti Darul Islam, memberikan banyak perspektif tentang tokoh karismatis ini. Mereka juga memberikan rujukan sejumlah literatur mengenai Kartosoewirjo dan gerakan Darul Islam, dari karya klasik sampai kontemporer.

Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo, menceritakan pergulatan keluarganya yang dianggap sebagai gembong pemberontak. Memang, setelah ayahnya dieksekusi, giliran dua kakak kandungnya, Dodo Muhammad Darda dan Tahmid Rahmat Basuki, tampil menjadi tokoh baru Darul Islam.

Riwayat Sardjono sendiri cukup unik. Dia lahir di hutan, di medan gerilya ayah dan ibunya. Usianya baru lima tahun ketika Kartosoewirjo tertangkap dan seluruh keluarganya memutuskan menyerah dan keluar dari hutan. Dengan ingatan kanak-kanak yang terbatas, dia membantu merekonstruksi apa yang terjadi di hutan, di saat-saat terakhir perlawanan sang Imam dan pengikutnya.

Kami juga mengundang Sofwan, bekas juru warta Ma’had Al-Zaytun, yang dikenal sebagai pesantren milik bekas pengikut Negara Islam Indonesia. Mantan tangan kanan Abdussalam Toto alias Panji Gumilang ini mengaku sudah keluar “secara baik-baik” dari Al-Zaytun. Diskusi yang berlangsung seru dan kadang diselingi gelak tawa itu selalu diawali makan siang atau makan malam ala Tempo.
Melengkapi tulisan, kami melakukan napak tilas ke sejumlah tempat bersejarah. Sardjono menemani dan menunjukkan lokasi-lokasi tempat Kartosoewirjo dan anak buahnya pernah bergerilya selama 13 tahun di hutan dan gunung sekitar Garut dan Tasikmalaya, Jawa Barat.

Bersama Sardjono pula kami pergi ke Pulau Onrust di Teluk Jakarta. Di sana ada sebuah makam yang diyakininya sebagai kubur ayahnya. Selama ini sejumlah literatur dan saksi sejarah hanya bercerita bahwa Kartosoewirjo dieksekusi dengan ditembak mati di sekitar Teluk Jakarta. Namun tak diketahui di mana jenazah sang Imam dikebumikan.

Tim Edisi Khusus :
Penanggung Jawab: Nugroho Dewanto Kepala Proyek: Bagja Hidayat Penyunting: Nugroho Dewanto, Bina Bektiati, Mardiyah Chamim, Idrus F. Shahab, Purwanto Setiadi, Arif Zulkifli, Budi Setyarso, Muhammad Taufiqurohman, L.R. Baskoro, Seno Joko Suyono, Hermien Y. Kleden, Amarzan Loebis Penulis: Nugroho Dewanto, Bagja Hidayat, Sunudyantoro, Harun Mahbub Billah, Dwidjo Utomo Maksum, Yandi M. Rofiyandi, Anton Aprianto, Wahyu Dhyatmika, Budi Riza, Yophiandi Kurniawan, Anne L. Handayani, Nurkhoiri, Fery Firmansyah, Angelus Tito Sianipar, Yuliawati, Ramidi, Erwin Dariyanto, Ahmad Taufik, Oktamandjaya Wiguna, Sapto Pradityo, Nurdin Kalim, Retno Sulistyowati, Suryani Ika Sari Penyumbang Bahan: Widiarsi Agustina, Cheta Nilawaty (Jakarta), Gilang Mustika Ramdani, Ahmad Fikri, Angga Wijaya (Bandung), Sigit Zulmunir (Garut), Jayadi Supriyadin (Tasikmalaya), Deden abdul Aziz (Sukabumi) Sudjatmiko (Rembang, Cepu, Bojonegoro), Sohirin (Semarang), Erwin Dariyanto (Brebes), Kukuh S. Wibowo (Surabaya) Bahasa: Uu Suhardi, Dewi Kartika Teguh W., Sapto Nugroho Foto: Aryus P. Soekarno (Koordinator), Bismo Agung, Dwi Narwoko, Aditya Herlambang Desain: Gilang Rahadian, Eko Punto Pambudi, Hendy Prakasa, Kiagus Auliansyah, Ajibon, Agus Darmawan S., Tri Watno Widodo

Sumber Tulisan : Tempo online
Tulisan Selanjutnya lihat disini Jejak Perjuangan Kartosoewirjo

Peran “Ulama” Djawa Barat dalam Operasi “Pagar Betis”

Jumat, 08 Februari 2013

Penumpasan DI/TII termuat dalam Rencana Pokok (RP) dan Rencana Operasi (RO), sebagai berikut : pada tahun 1958 merupakan tahun kebangkitan pemikiran Kodam III/Siliwangi ke arah pemulihan keamanan di Jawa Barat yang lebih efektif dan efisien. Kemudian lahirnya konsep Perang Wilayah (sudah disahkan dengan Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 merupakan manifestasi dari Undang-undang Dasar 45, pasal 30 ayat 1, yang menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam pembelaan negara. Sementara itu penelitian anti gerilya berjalan terus, dan diantaranya keluarlah Rencana Pokok 211 (RP 211) yang berbunyi “Membatasi gerak dari lawan”.
Menyesuaikan dengan mobilitas DI/TII, maka keluarlah pada waktu itu Rencana Operasi 212 pada 1 Desember 1959. Kemudian bulan Pebruari 1961 dikeluarkan Rencana Operasi 2121 (RO 2121) yang merupakan percepatan dari RO 212, isinya berupa kebijaksanaan bahwa pemulihan keamanan untuk wilayah Jawa Barat akan diselesaikan dalam jangka waktu itu, hanya sampai tahun 1965. Tetapi dalam RO 2121 jangka waktu itu hanya sampai dengan tahun 1962.

Peran Ulama Djawa Barat Pendukung Pagar Betis
Pada tahun 1956, para ulama di Priangan Timur, yang jadi basis utama gerakan DI/TII, mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan dengan kalangan militer. Atas prakarsa kalangan militer, maka terbentuklah Badan Musyawarah Alim Ulama (BMAU) pada 18 Maret 1957 di Tasikmalaya. Prakarsa tersebut merupakan bagian dari kebijakan Komandan Resimen 11 Galuh Letkol Syafei Tjakradipura dan Kepala Stafnya Mayor Poniman. Resimen Galuh ini memiliki wilayah kerja Tasikmalaya dan Ciamis (Priangan Timur).

BMAU ini didirikan setelah para ulama, wakil militer dan pemerintah mengadakan pertemuan di Gedung Mitra Batik Tasikmalaya (kini, Toserba Yogya). Ulama yang hadir dalam pertemuan itu adalah KH. Ruhiyat Rois Syuriah Nahdlatul Ulama Cabang Tasikmalaya (Pesantren Cipasung), KH Ishak Farid (Pesantren Cintawana), KH Fathoni (Ciamis), KH Holil Dahu (Ciamis), pengasuh Pondok Pesantren Jamanis, KH O. Hulaimi Ketua Tanfidziayah Nahdlatul Ulama Tasikmalaya (Cikalang Tasikmalaya), KH R. Didi Abdulmadjid, KH. Burhan Sukaratu dan KH.Didi Dzulfadli Kalangsari (Tasikmalaya). Hadir juga Mayor R. Mustari dari Rohis (Perawatan Rohani Islam) Resimen Galuh. Selain itu ada juga Bupati Tasikmalaya dan Bupati Ciamis serta wakil-wakil dari kepolisian dan beberapa partai politik. Pertemuan itu mengambil sejumlah kesepakatan, dan yang ditunjuk memimpin BMAU itu adalah KH. R. Didi Abdulmadjid sebagai Ketua dan KH. Irfan Hilmy sebagai Penulis. Akan tetapi tidak diketemukan suatu dokumentasi dan keterangan bagaimana struktur dan personil selengkapnya dari BMAU ini.

Salah satu tujuan BMAU ini adalah untuk memulihkan stabilitas keamanan di Priangan Timur. BMAU ini juga berfungsi untuk menyelenggarakan kegiatan pengajian, pendidikan, dan dakwah. Dengan demikian, cikal-bakal Majelis Ulama bisa dinyatakan adalah BM-AU ini. Melalui BMAU ini para ulama mewujudkan upaya menjaga keutuhan RI dengan jalur ishlah bainan naas (perdamaian antara sesama manusia).

Pertemuan alim ulama dan Pemerintah, sipil dan militer kemudian berlanjut diadakan pula didaerah lain, seperti Konferensi Alim Ulama Militer se-Kresidenan Banten, pertemuan Ulama Umaro Sumedang pada Juni 1958, Garut dan Bandung pada Juli 1958.
Pada 12 Juli 1958, Staf Penguasa Perang Daerah Swatantra I Jawa Barat mengeluarkan Pedoman Majelis Ulama, dinyatakan Majelis Ulama berasas Islam dan mempunyai tujuan melaksanakan kerjasama dengan alat negara Republik Indonesia dalam bidang tugasnya yang sesuai dengan ajaran Agama Islam. Dan pada 11 Agustus 1958 mengeluarkan Instruksi No.32/8/PPD/1958 kepada Semua Pelaksana Kuasa Perang Di Daerah Swatantra I Jawa Barat untuk membentuk Majelis Ulama didaerahnya masing-masing berdasarkan pada dan sesuai dengan Pedoman terlampir, dan Pelaksana Kuasa Perang yang sudah terlebih dulu membentuk Majelis tersebut supaya menyesuaikannya dengan Pedoman ini.

Sebagai peningkatan dan lebih mengokohkan posisi Majelis Ulama, diselenggarakanlah Konferensi Alim Ulama-Umaro pada 7 9 Oktober 1958 bertepatan dengan 2 – 4 Rabi’ul Tsani 1377 H, di Lembang Bandung, dengan sebuah Panitia Penyelenggara yang dipimpin Let.Kol. Omon Abdurachman sebagai Ketua Umum, seorang Perwira TT III / Siliwangi. Konferensi ini diselenggarakan pasti sudah, untuk mengokohkan kebersamaan dalam menegakkan NKRI. Juru bicara Resimen 11 Galuh dalam Pemandangan umumnya antara lain mengemukakan “Setelah BMAU didirikan atas kebijaksanaan Komandan RI 11 disertai C.PR.A.D-nya dan mendapat sambutan dan dukungan yang hangat daripada ulama make segala kecurigaan, tekanan, fitnahan terhadap alim ulama lenyap dan timbul kerjasama yang erat dan saling harga menghargai disegala lapangan”. Disampaikan pula bahwa: “Rapat Alim Ulama Resimen Infantri 11 tanggal 3 Oktober 1958 di Staff Resimen Infantri 11 menyetujui BMAU diganti manjadi MU”. Dan yang juga menjadi bahan pertimbangan adalah keputusan Konferensi Alim Ulama Militer se-Karesidenan Banten: “mengenai penempatan APRI dan alat negara bersenjata lainnya, harus dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat dan Agama didaerah mereka bertugas”, dan “mengenai para tahanan, terutama alim ulama, yaitu supaya mendapat pelayanan dan perawatan yang layak dan segera dilakukan pemeriksaan dengan care yang jujur dan adil”.

Para tokoh ulama itu pulalah yang kemudian terlibat dalam Konferensi Alim Ulama-Umaro Daerah Swatantra I Jawa Barat di Lembang, Bandung pada 7-9 Oktober 1958. Konferensi tersebut menghasilkan keputusan yang berkaitan dengan tiga persoalan pokok yang dihadapi seat itu yakni (a) usaha menyempurnakan pemulihan keamanan dan pemeliharaannya, (b) usaha menyempurnakan pembangunan dan (c) usaha penyempurnaan pendidikan dan kebudayaan.

Dalam Konferensi Lembang ini hadir memberikan Kata Sambutannya: Menteri Agama, KH. Moh. Ryas, Menteri Negara Urusan Kerjasama Sipil dan Militer, KH.Wahib Wahab, K.S.A.D. Jenderal A.H. Nasution, Ketua Pengurus Perang Daerah Swatantra I Jawa Barat /Panglima Teritorium III / Siliwangi Kol.RA. Kosasih.

Diantara Keputusan Konferensi ini adalah penegasan “Menyetujui dan Mempertahankan kebijakan Ketua Penguasa Perang Daerah Swatantra I Jawa Barat dalam membentuk Seksi Rohani dan Pendidikan beserta bagian-bagiannya (Lembaga Kesejahteraan Ummat dan “Majelis Ulama”), sebagai badan Kerja Sama Ulama-Militer-Umaro “.

Maka karenanya, personalia dengan struktur yang ditetapkan oleh Staf Penguasa Perang Daerah Swatantra I Jawa Barat No. 53/8/PPD/58 tanggal 22 Agustus 1958 bersama dengan Pedoman Majelis Ulama tanggal 12 Juli 1958, yang telah diuraikan dimuka, mendapat legitimasi yang sangat kuat, untuk menghadapi situasi Jawa Barat pada kala itu.
Dengan modal ini, yang selanjutnya ditempuh jalan gerakan “Pagar Betis” menghadapi DI/TII, telah tercapai pemulihan keamanan di Jawa Barat.
Jendral A.H. Nasution adalah penggerak utama “Rencana Dasar 2,1″, yaitu gagasan yang mendasari : Musuh harus ditahan didaerah-daerah tertentu, dan aksi-aksi Republik harus dipusatkan pada salah satu daerah ini sekaligus, dengan demikian pangkalan musuh ditumpas satu demi satu. Itulah sebabnya, Divisi Siliwangi dengan dibantu Divisi Diponegoro dan Brawijaya, -yang tentu tidak merupakan kekuatan yang cukup-, pada tahun 1960 seluruh penduduk sipil Jawa Barat diturutsertakan dalam apresiasi, dan dibentuklah secara besar-besaran “Pagar Betis”.

Dalam gerakan “Pagar Betis” yang kadang-kadang berlangsung berhari-hari ini, penduduk sipil membentuk garis maju berangsur-angsur, dengan satuan-satuan kecil tiga sampai empat prajurit pada jarak-jarak tertentu, tidak terlalu jauh satu sama lain. Dalam teori, pagar betis ini disokong satuan-satuan militer dibaris depan maupun dibaris belakang. Prajurit dibarisan belakang merupakan semacam cadangan yang dapat digunakan pada tempat-tempat yang sukar dimasuki digunakan taktik tidak dimasuki, tetapi dikepung.

Dalam praktek, Tentara Republik kadang-kadang menggunakan “Pagar Betis” menjadi “Perisai Manusia”. Teknik lain yang digunakan, untuk memaksa pasukan DI/TII menyerah adalah dengan menduduki sawah yang diduga dimiliki atau dikerjakan oleh kaum kerabat mereka, agar panen tidak digunakan untuk memberi makan pasukan DI/TII. Dari proses inilah lahir adagium ” Siliwangi adalah Jawa Barat dan Jawa Barat adalah Siliwangi”.
 
Maka model atau pola hubungan antara Ulama-Umaro yang dikembangkan di Jawa Barat ini kemudian menjadi salah satu prototipe model hubungan ulama dan umaro pada tingkat nasional.
Maka pada tingkat nasional, pada 17 Rajab 1395 bertepatan dengan 26 Juli 1975, atas prakarsa kebijakan Pemerintah dan terapan Menteri Agama RI (Prof.Dr. H.A. Mukti Ali), Prof. Dr. HAMKA dan tokoh Bangsa lainya, dibentuklah Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Musyawarah Nasional I di Jakarta, tanggal 21 – 27 Juli 1958 bertepatan dengan 11 – 17 Rajab 1395.

Majelis Ulama Jawa Barat yang sudah terbentuk jauh sebelumnya sudah barang tentu turut memberikan saran dan pandangan pada pertemuan pembentukan MUI itu.

Sumber Referensi: 

Hari-hari terakhir ~Tah ieu teh Hudaibiyah ~

Pada tanggal 15 Mei 1962, Kartosoewirjo, mendapat laporan bahwa pasukan DI/TII yang tersebar di gunung Cakrabuana, gunung Guntur serta gunung Galunggung telah kocar-kacir. Tak hanya itu, juga mendengar kondisi fisik pasukannya kian lemah, kehabisan tenaga. Kondisi yang tak jauh beda dengan dirinya. Saat itu Sang Imam ini sedang sakit, Ia menderita penyakit gula serta kurang gizi. Sembari tergolek lemah, ia mendapat laporan dari ajudannya bahwa TNI yang sudah dekat dengan rombongan yang berjumlah 46 orang. Muhammad Darda, Komandan Markas serta Aceng Kurnia, ajudan Kartosuwirjo telah bertekad akan perang mati-matian kalau musuh datang.
“Kalau musuh datang, kita akan tembak. Menyerah berarti dosa. Kita harus siap yuqtal au yaglib (membunuh atau terbunuh)”, tegas Dodo Muhammad Darda. Mendengar ucapan anaknya itu, Kartosoewirjo diam sejenak. Setelah itu ia berkata ” Kondisi saat ini sudah tidak memenuhi syarat lagi untuk Yuqtal au Yaglib“. Seorang pemimpin bisa memberi komando perang kalau ada tenaga, senjata serta keberanian tempur. kalau itu tidak ada, yuqtal au yaglib menjadi dzolim karena tak memenuhi syarat. “Dalam kondisi sekarang, kalau musuh datang biar Bapak yang menghadapi. Urusan-urusan lain biar Bapak yang selesaikan. Yang penting kalian taati kendati tidak ikhlas maupun tidak ridha”.
Pada 2 Juni 1962, terjadi lagi percakapan antara Aceng Kurnia, Dodo Muhammad Darda dengan Sang Imam. Aceng Kurnia yang menjadi Komandan regu pengawal Imam menceritakan pengalamannya yang mengusik pemikirannya, bahwa ia pernah merasakan seolah-olah berada dalam keadaan antara mimpi dan kenyataan. Dalam mimpinya itu, ia seperti sedang diperlihatkan kepada gambaran masa depan hidup berbaur dengan musuh. Mimpi serupa juga dialami oleh Dodo. Bahkan Dodo dalam mimpinya melihat seorang tentara DI/TII setingkat komandan regu sedang berjualan es dawet di tengah-tengah masyarakat, berjualan dari satu kampung ke kampung lain. Mengomentari kedua orang tersebut, Kartosoewirjo menegaskan bahwa itu tanda perubahan perjuangan dalam beberapa tahun ke depan. Ia juga kembali menegaskan sikapnya bahwa kondisi saat ini tak memenuhi syarat lagi untuk berperang. Dia juga menegaskan kepada keduanya, Lain kudu ridho, tapi narima kana rukun iman nu ka genep, bi syarrihi wa khoerihi (Tidak harus ridho, tetapi menerima terhadap rukun iman yang keenam, baik dalam keadaan baik maupun keadaan buruk).

Pada 4 Juni 1962, perjalanan rombongan Kartosoewirjo telah sampai di sebuah lembah antara gunung Sangkar dan gunung Geber, disekitar Bandung Selatan. Pagi itu hujan deras yang disertai angin kencang mengguyur daerah itu. Pasukan DI/TII pun memilih berteduh di tenda-tenda darurat. Tak disangka, terdengar suara tembakan dari bawah bukit. Pasukan yang berkekuatan tiga peleton itu telah mengepung rombongan Sang Imam. Aceng Kurnia segera melapor. Semua pengawal yang berada disekitar sang Imam bersiap-siap dengan senjatanya. Mereka bertekad akan perang sampai mati. Aceng Kurnia dan Dodo sudah berada dalam posisi siap tembak. Ketika pasukan TNI sudah semakin dekat ke tenda yang ditempati Kartosoewirjo, tiba-tiba Kartosoewirjo yang sedang dalam keadaan berbaring berkata :”Ulah nembak, ngagugu kahayang Muh (Dodo) wae mah atuh beak mujahid” (Jangan menembak, Kalau mengikuti keinginan Dodo, semua mujahid bakal habis). Mendengar perintah ini, Aceng Kurnia dan Dodo pun meletakan senjatanya. Mereka keluar sambil angkat tangan. Di luar mereka disambut oleh Letda Suhanda yang didampingi dua anggotanya, Amir dan Suhara. Letda Suhanda kemudian menyalami keduanya sambil bertanya. “Mana Pak Imam?” “Tah eta” (itu dia) kata Dodo sambil menunjukan tenda. Suhanda pun masuk kedalamnya. Kartosoewirjo tampak dalam keadaan payah dan berbaring di lantai gubuk itu dan mengenakan jaket militer dan sebuah sarung. Meskipun saat ditangkap dia berusia 55 tahun, tapi dia kelihatan seperti seorang lelaki tua yang lebih dari umurnya.

Setelah itu, tanpa banyak bicara, Suhanda memerintahkan anak buahnya membuat tandu. Aceng Kurnia dan Dodo kemudian membangunkan Kartosoewirjo dan memapahnya ke arah tandu. Saat itu, tiba-tiba Kartosoewirjo berbisik, “Tah ieu teh Hudaibiyah jang urang mah. (Inilah Hudaibiyah bagi kita)”. Perkataan itu diucapkan tiga kali masing-masing sambil menengok kepada Aceng Kurnia satu kali, Dodo sekali dan yang ketiga sebagai penegasan.

Dua hari setelah penangkapan, Kartosoewirjo memerintahkan Dodo Muhammad Darda untuk mengeluarkan seruan kepada pasukan TII yang ada di gunung agar turun dan meletakan senjata. Awalnya perintah itu tak dituruti oleh Dodo, karena ia merasa tak berwenang mengeluarkan perintah. Sebagai Komandan Markas ia tidak memiliki hubungan administrasi, kecuali dengan sesama anggota markas. Dodo merasa bahwa perintah Imam kali ini adalah sesuatu yang berat baginya, dan ia pun telah mempertimbangkan dampak pelaksanaan perintah tersebut. Akibatnya terjadilah perdebatan antara Dodo dengan Kartosoewirjo. Menurut Dodo, ia hanya bisa membuat seruan tersebut kepada Tahmid Rahmat Basuki (Komandan Kala), sedangkan kapada yang lain tidak bisa. “Kalau begitu”, kata Imam, “Perintah ditujukan kepada Tahmid dan berlaku untuk semua.” Akhirnya Dodo pun menyetujui bagi melaksanakan perintah ayahnya.

Kemudian, Dodo bersama-sama dengan Ibrahim Ajie, panglima KODAM Siliwangi menyusun seruan itu. Sempat terjadi perdebatan antara Dodo dengan Ibrahim Ajie. Ibrahim Ajie meminta kepada Dodo untuk memasukan kalimat yang mengatakan bahwa Jihad DI adalah keliru dan harus kembali ke jalan yang benar. Dodo menolaknya, dia bersikukuh hanya akan membuat seruan yang berisi perintah turun gunung. Ibrahim Ajie pun mengalah. Akhirnya dibuatlah seruan itu yang isinya, antara lain meminta Tahmid Basuki selaku Komandan Kala beserta seluruh rombongannya untuk menyerahkan diri. Disebutkan juga bahwa para pejuang NII diminta menghentikan tembak menembak dengan tentara TNI. Selain itu, disebutkan juga bahwa Kartosoewirjo bertanggungjawab atas semua tindakan pasukan NII.

Lengkapnya seruan tersebut berbunyi sebagai berikut :
  1. Saya Moh. Darda selaku Komandan Bantala Seta, atas nama dan atas perintah bapak S.M. Karosoewirjo, mengharapkan kepada saudara Tahmid Basuki selaku Komandan Kala beserta seluruh rombongan, agar turun bersama-sama mengikuti bapak (S.M. Kartosoewirjo) segera seterimanya seruan dan perintah ini.
  2. Semua tindakan saya dan tindakan saudara-saudara beserta seluruh Djami’atul Mudjahidin, dipertanggungjawabkan sepenuhnya lahir dan bathin dunia akherat oleh bapak S.M. Kartosoewirjo. Insya Allah Amin.
  3. Perlu diketahui bahwa S.M. Kartosoewirjo dalam kedudukannya selaku Imam – Panglima Tertinggi Angkatan Perang Negara Islam Indonesia sudah memerintahkan untuk menghentikan tembak-menembak antara Angkatan Perang NII dan TNI, dan bagi rombongan bersama sudah dilaksanakan pada tanggal 4 Juni 1962 jam 11.35.
  4. Agar dimaklumi, bahwa S.M. Kartosoewirjo bersama saya, Aam (Aceng Kurnia, kepala pengawal pribadi S.M. Kartosoewirjo) serta anak-anak sudah selamat ada dilingkungan RI dengan mendapat perawatan baik dan menggembirakan, pada tanggal 4 Juni 1962 jam 12.00
  5. Semuanya itu berlaku bagi pak Widjaya dan semua Djami’atul Mudjahidin, Insya Allah Amin.
  6. Kami bersama bapak menanti kedatangan saudara-saudara
Seruan ini memicu berbagai reaksi. Ada sebahagian pasukan yang tersebar di gunung yang percaya kemudian menyerahkan diri. Misalkan yang dilakukan oleh Agus Abdullah pada 20 Juni meletakan senjata dan melaporkan diri ke pos TNI di Cipakur. Ada lagi yang tak percaya termasuk Tahmid Rahmat Basuki. Ketika ia mendengarkan seruan itu di radio, ia menafsirkan terbalik. Ia menganggap seruan itu bahasa sandi yang artinya dilarang turun gunung dan melanjutkan pertempuran. Karenanya, bersama pasukan ia berangkat ke gunung Ciremai dan berniat bergabung dengan pasukannya Agus Abdullah. Namun rencana itu tak kesampaian, dalam perjalanan ke gunung Ciremai itulah dia tertangkap.

Kartosoewirjo dirawat selama dua bulan. Agustus 1962 kondisinya mulai pulih. Pemeriksaan pun dimulai. Selain dirinya, 11 orang saksi ikut diperiksa. Pemeriksaan berjalan amat singkat. Pada bulan yang sama, Kartosoewirjo diajukan ke pengadilan Mahkamah Angkatan Darat dalam Keadaan Perang Untuk Jawa dan Madura alias Mahadper. Tiga kejahatan dituduhkan kepadanya. Pertama, makar untuk merobohkan negara Republik Indonesia. Kedua, pemberontakan terhadap kekuasaan yang sah. Ketiga, makar untuk membunuh Soekarno. Dalam sidang yang ketiga, pengadilan memutuskan Kartosoewirjo terbukti bersalah. Pengadilan menjatuhi hukuman mati.
Awal September 1962, Kartosoewirjo menyusun surat wasiat. Surat itu terdiri dari empat bagian. Dua bagian merupakan pesan untuk pengikutnya, dua lagi untuk keluarganya. Khusus pesan bagi para pengikutnya, ia menegaskan bahwa hingga detik terakhir ia tetap bertindak dan berbuat selaku Imam Panglima Tertinggi ANgkatan Perang Negara Islam Indonesia (APNII). Dia juga menegaskan kembali apa yang telah dilakukannya semuannya merujuk pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Dia juga yakin bahwa suatu waktu cita-cita Negara Islam bakal terlaksana walaupun lawan menentangnya.
Esok harinya 5 September 1962 Kartosoewirjo dibawa regu tembak ke sebuah pulau di Kepulauan Seribu. Pukul 5.50 pagi tepat, regu tembak melakukan eksekusi mati. Jenazah Kartosoewirjo pun dikebumikan di pantai pulau tersebut.

Referensi :
  • NII Sampai JI Salafi Jihadisme Di Indonesia, Solahudin, Komunitas Bambu, Mei 2011
  • Siliwangi Dari Masa Ke Masa, Sejarah Militer Kodam VI Siliwangi, Fakta Mahjuma, Juni 1968

Hari terakhir Kartosoewirjo

Misteri eksekusi wafatnya Imam dan Pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo terungkap. Selama 50 tahun, pemerintah Soekarno dan Soeharto menyembunyikan lokasi eksekusi sang Imam.
Selama ini Kartosoewirjo dipercaya masyarakat dieksekusi dan dikubur di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Bahkan ada makam yang disebut sebagai makam sang imam di sana. Ternyata salah besar.
Adalah sejarawan dan budayan Fadli Zon yang membuka misteri yang tersimpan 50 tahun lalu itu. Lewat buku ‘Hari terakhir Kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi mati Imam DI/TII’, terungkap Kartosoewirjo dieksekusi mati dan dikuburkan di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu.
Sebenarnya saya belum liat apalagi baca buku ini. Buku ini baru akan diluncurkan oleh sang penulisnya Fadli Zon di Taman Ismail Marzuki hari ini. Hasil ngintip dari websitenya Fadli Zon, sedikit keterangan tentang buku “Hari Terakhir Kartosoewirjo
Buku ini ditulis dengan tujuan utama mengangkat sebuah fakta sejarah mengenai salah satu episode terpenting dalam perjalanan hidup Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Fakta-fakta ini jarang sekali, untuk mengatakan tak pernah sama sekali, terungkap oleh sejarawan Indonesia maupun peneliti asing baik dalam catatan mereka atau dalam publikasi ilmiah kesejarahan Indonesia. Inilah detik-detik akhir kehidupan Kartosoewirjo yang dieksekusi mati pada 12 September 1962. Peristiwa itu terjadi persis 50 tahun lalu.
Hingga buku ini ditulis dan diterbitkan, sudah puluhan bahkan ratusan publikasi yang mencatat baik langsung maupun tak langsung ulasan tentang perjalanan hidup Kartosoewirjo ataupun jejak sepak terjangnya dalam gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Namun, berdasarkan hasil penelusuran saya, belum ada satupun di antara publikasi tersebut yang memuat fakta yang dituangkan dalam buku ini. Sebuah fakta yang berbicara sendiri dengan bahasa gambar.
Fakta yang disajikan dalam buku ini belum pernah diangkat di media manapun. Publikasi yang ada mengenai Kartosoewirjo, banyak yang sudah secara detail memaparkan perjalanan hidupnya, pemikiran politiknya, sepak terjangnya dalam kancah gerakan nasionalisme Indonesia, perannya dalam gerakan DI/TII, hingga cerita mengenai tertangkap sampai wafatnya Kartosoewirjo.
Inilah beberapa foto yang berhasil diboyong kemari dari kaskus.co.id yang bersumber dari buku “Hari Terakhir Kartosoewirjo”
~ Sholat Tobat sebelum eksekusi~
~Foto Eksekusi SMK~
~ Tembakan terakhir dari komandan regu tembak~
“Buku ini ditulis dengan tujuan utama mengangkat sebuah fakta sejarah penting dalam perjalanan hidup Sekarmadji Maridjan Kartosowirjo. Inilah detik-detik akhir kehidupan Kartosoewirjo yang dieksekusi mati pada 12 September 1962,” jelas Fadli dalam bukunya.
“Tepatnya 7 Agustus 2010 saya mendapatkan koleksi foto-foto tersebut. Setelah saya selesai acara Java Auction (lelang benda-benda filateli dan numismatik) di Hotel Redtop, ada seorang kolektor yang menawarkan koleksi foto Kartosoewirjo. Koleksi foto ini adalah artefak sejarah yang penting,” tulis Fadli.
Reff :  Serbaserbi sejarah
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Al-Islam - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger